Bismillah..
Menurut Al-Qur’an sabar yang keempat adalah sabar atas beban dakwah kepada Allah. Sebab para da’i menuntut menusia agar membebaskan diri dari hawa nafsu, lamunan-lamunan kosong, adat kebiasaan mereka, memberontak kepada syahwat, sembahan nenek moyang, tradisi kaum, da superioritas kelas atau keturunan, memberikan sebagian yang mereka miliki kepada saudaranya, dan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dalam bentuk perintah dan larangan, halal dan haram.
Sementara kebanyakan manusia menentang dakwah yang dibawakan oleh Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, seperti menghadapi perlawanan yang menggunakan segala bentuk senjata, harta, kekuasaan, kekuatan, wibawa, pengaruh dan sebagainya.
Tidak ada jalan lain bagi para da’i kecuali harus berpegang teguh dengan keyakinan serta bersenjatakan kesabaran dalam menghadapi kekuatan dan kekuasaan tiran.
Sabar di sini seperti dikatakan Imam Ali ra, merupakan pedang yang tak pernah tumpul dan cahaya yang tak bisa redup. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan hadist shahih,
“Sabar adalah cahaya”.
Inilah rahasia dikaitkannya antara tawashibish-shabri dan tawashi bil haqqi dalam surat al-Ashr,
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr [103] : 1-3)
Sebab, kebenaran tidak dapat dipertahankan kecuali dengan sabar. Juga merupakan rahasia dikaitkannya kesabaran dengan amar ma’ruf dan nahi munkar di dalam wasiat Lukman Hakim kepada anaknya,
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah manusia dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukman [31] : 17)
Seolah-olah dia berpesan, selama engkau menyeru kepada manusia kepada kebaikan, memerintah mereka melakukan yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar, maka persiapkanlah dirimu yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.
Beban-beban dakwah kepada Allah wujudnya beraneka ragam, di antaranya yang disebutkan al-Qur’an sebagai berikut,
Pertama, dalam bentuk keberpalingan manusia dari juru dakwah. Sesuatu yang dirasa paling menyesakkan dada seorang juru dakwah ialah penolakan manusia terhadap dakwah yang telah diserukannya.
Hal ini dapat kita lihat dalam munajat Nabi Nu as kepada Allah, ketika mengadukan ikhwal kaumnya yang menolak dakwahnya.
“Berkata Nuh, Rabbi, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenarana). Dan sesungguhnya setiap aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap mengingkari dan menyombongkan diri dengan sangat” . (QS. Nuh [71] : 5-7)
Dalam dakwah Nabi Hud as ketika kaumnya berkata,
“Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepad kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali akan meninggalkan sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kami”. (QS. Hud [11] : 53)
Juga dapat kita lihat dalam dakwah Nabi Muhammad saw ketika Allah menjelaskan sikap kaumnya kepadanya,
“Haa Miim. Diturunkan dari Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, sebagai berita gembira da peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya), maka mereka tidak mau mendengarkan. Mereka berkata : Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamuj seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan diantara kami dan kamu ada dinding maka bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja pula”. (QS. Fushilat [41] : 1-5)
Oleh sebab itu, Allah bersifat kepada Rasul-Nya,
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janglanlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka”. (QS. An–Nahl [16] : 127)
Juru dakwah yang telah mencontohkan bentuk ini secara mengagumkan adalah Nuh as, ketika ia menghadapi keberpalingan dan rintangan yang tidak pernah lagi dihadapi oleh juru dakwah sesudahnya.
Dalam bentuk gangguan manusia dengan ucapan atau perbuatan. Tidak ada sesuatu yang paling menyedihkan sesorang da’i yang mukhlis, yang bersih dari hawa nafsu dan sangat mencintai kebaikan bagi manusia, daripada sikap manusia yang menyambut nasihatnya dengan tuduhan-tuduhan palsu, yang menolak seruannya ke jalan Allah dengan kekerasan, yang membalas kebaikannya dengan kejahatan, yang menuduh aktivitasnya yang konstruktif dengan merongrong keamanan negara.
Kadang-kadang persoalannya tidak h anya sampai di sini. Para thagut itu bahkan seringkali merampas hartanya, menyiksa tubuhnya, memasung kebebasannya, menodai kehormatannya, menghabisi nyawanya, ata mengusirnya dari negara kelahirannya.
Inilah yang pernah disumpahkan al-Qur’an tentang kepastian terjadinyanya terhadap da’I Allah. Ketika Kitabullah menjelaskan hal itu kepada kaum Mukminin agar mempersiapkan dirinya dengan senjat sabar,
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji menyangkut hartamu dan dirimu, dan juga kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang di beri Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang hygn mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang m enyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu urusan yang patu diutamakan”. (QS. Ali Imran [3] : 186)
Dari sini kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bersabar atas gangguan kaumnya.
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al-Muzammil [73] : 10)
Semua nabi telah mencontohkan secara baik bentuk sabar ini. Karena itu, Allah memberikan pujian dan kemuliaan bagi mereka yang bersabar di jalan dakwah dan jalan-Nya. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment